SANTRIMANDIRI.NET - Sejarah Desa Karangsari memiliki keterkaitan erat dengan dua kerajaan besar di tanah Jawa, yakni Kerajaan Mataram dan Kerajaan Pajajaran. Hubungan ini berawal dari politik pernikahan yang dilakukan Kerajaan Mataram untuk memperluas kekuasaan.
Mataram kerap menjalin hubungan pernikahan antara putera dan puteri kerajaan dengan para putera dan puteri bupati daerah sekitar, dengan tujuan mengikat daerah tersebut dalam kekuasaan Mataram. Melalui cara ini, wilayah Mataram meluas hingga mencakup daerah yang lebih luas.
Suatu hari, Raja Mataram mengadakan perjalanan jauh dari istana dan bertemu dengan seorang gadis desa yang elok. Terkesima, Sang Raja ingin memperistrinya dan membawa gadis tersebut ke istana.
Keluarga gadis itu menerima tawaran Sang Raja dengan penuh hormat, dan gadis itu dibawa ke istana untuk dinikahi. Sebelum pernikahan berlangsung, gadis tersebut, yang kini sudah menjadi puteri keraton, ditempatkan di kaputren bersama emban dan pelayan.
Namun, meski berada di lingkungan istana yang mewah, Sang Puteri tidak merasa bahagia. Hari-harinya ia lalui dalam kesedihan, sering melamun dan menyendiri.
Seorang emban yang memperhatikan gelagat Sang Puteri akhirnya dengan lembut menanyakan perihal kesedihannya.
Dengan berat hati, Sang Puteri mengakui bahwa hatinya sudah terikat pada seorang tunangan, seorang putera Bupati Madiun bernama Raden Wijaya. Selama di istana, Sang Puteri tak mampu melupakan tunangannya tersebut.
Merasa iba, emban itu akhirnya setuju membantu Sang Puteri bertemu Raden Wijaya secara rahasia. Dengan bantuan emban, mereka berhasil bertemu, dan pertemuan ini mempererat tekad mereka untuk tetap bersama. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melarikan diri dari istana.
Setelah keduanya jauh, barulah Sang Raja menyadari hilangnya Sang Puteri dan memerintahkan pasukan untuk mencarinya hingga ke pelosok kerajaan, bahkan sampai ke kerajaan tetangga.
Dalam pelarian mereka, Raden Wijaya dan Sang Puteri bergerak ke arah barat dari istana Mataram, terus menghindari pengejaran pasukan.
Berhari-hari mereka berjalan tanpa tujuan pasti, hanya berusaha menghindari tangkapan. Karena tak mungkin kembali ke tempat asal Sang Puteri atau ke Madiun, mereka terus berlari.
Pada suatu hari, mereka tiba di tepi sebuah sungai besar bernama Cipamali, yang kini berada di wilayah Tasikmalaya. Sungai tersebut lebar dan berarus deras, sehingga mereka tak bisa menyeberanginya. Sementara itu, pasukan Mataram semakin dekat.
Di tengah kebingungan, mereka melihat seekor rusa terjerat semak belukar. Merasa iba, mereka melepaskan rusa tersebut, dan tak jauh dari tempat itu, mereka menemukan sebuah gua tertutup semak dan sarang laba-laba.
Keduanya bersembunyi di dalam gua, yang, dengan izin Allah, tertutup kembali oleh semak belukar.
Pasukan Mataram akhirnya tiba di tepi sungai Cipamali. Namun, mereka merasa kebingungan, sebab aliran sungai yang deras mustahil bisa diseberangi. Pasukan kemudian memeriksa sekeliling sungai dengan harapan menemukan jejak, tetapi tak menemukan apa pun.
Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali, berharap dapat menemukan jejak Raden Wijaya dan Sang Puteri di desa lain yang telah mereka lalui.
Setelah pasukan pergi, Raden Wijaya dan Sang Puteri melanjutkan perjalanan. Dalam kebingungan arah, mereka melihat seekor kerbau putih yang bertanduk ke samping, dalam bahasa Sunda disebut "munding bule dongkol," yang sedang merumput.
Mereka mendekati kerbau itu, dan kerbau seakan memberi isyarat agar mereka mengikutinya. Perlahan, kerbau tersebut berjalan ke arah hilir sungai Cipamali. Di suatu titik, kerbau itu menemukan bagian sungai yang dangkal dan menyeberangi sungai, diikuti oleh Raden Wijaya dan Sang Puteri.
Setelah menyeberang, kerbau terus memimpin mereka ke dalam hutan hingga suatu ketika Raden Wijaya dan Sang Puteri kehilangan jejaknya.
Di tengah kebingungan, mereka mendengar suara ayam berkokok di kejauhan. Suara itu membawa mereka ke sebuah kampung kecil bernama Tarikolot, yang dihuni oleh masyarakat Kerajaan Pajajaran yang mencari pemukiman baru.
Di kampung tersebut, Raden Wijaya dan Sang Puteri diterima dengan baik dan akhirnya menikah dengan restu penduduk kampung. Penduduk Tarikolot bahkan memberikan hadiah lahan untuk mereka bangun rumah sebagai tempat tinggal.
Raden Wijaya berkeliling mencari tempat yang cocok, hingga tiba di dekat pohon beringin besar yang berlumut dan berakar udara, dalam bahasa Sunda disebut "kiara baok."
Di samping pohon tersebut, terdapat sumber air yang diyakini dapat menunjang kehidupan mereka. Di sinilah Raden Wijaya mendirikan rumah, yang kemudian menjadi cikal bakal Desa Karangsari.
Seiring waktu, rumah Raden Wijaya menarik perhatian penduduk kampung lain, dan perlahan-lahan tempat ini berkembang menjadi sebuah desa bernama Kiara Baok.
Kharisma dan kearifan Raden Wijaya sebagai pemimpin, diwariskan dari keluarganya yang bangsawan, membuat Kiara Baok kian berkembang. Nama Kiara Baok pun kian dikenal karena kesuburan tanahnya dan pemimpin yang bijaksana.
Penerus dan Perubahan Nama Desa
Dari pernikahan Raden Wijaya dan Sang Puteri, lahir dua putera yang berbakti:
Raden Candraparana, yang ahli dalam bidang politik dan tata pemerintahan.
Raden Imam, yang mendalami bidang agama.
Raden Candraparana menikah dengan Raden Ayu Sumaentang, puteri Bupati Bandung, sedangkan Raden Imam menikah dengan Puteri Timbanganten dari Limbangan.
Keturunan kedua putera ini kelak menjadi tokoh-tokoh masyarakat terkenal, bukan hanya di Garut, tapi juga di luar wilayah tersebut.
Pada tahun 1895, di bawah kepemimpinan Kuwu Raden Abdullah Sobandi, nama Desa Kiara Baok dianggap kurang elok dalam percakapan di tingkat kewedanan dan kabupaten.
Atas prakarsa Raden Abdullah, nama desa diubah menjadi Karangsari, dengan harapan bahwa desa ini akan terus berkembang menjadi desa yang indah dan sejahtera.
Tokoh Kepala Desa Karangsari
- Raden Abdullah Sobandi (1895 - ?)
- M. Eyib
- Mama Runawijaya
- Raden Palawira
- Raden Oto Kartawijaya
- Bapak Ruhiyat
- Raden Eman Sulaeman
- Bapak Iding Iskandar (1960 - 1964) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Ejang Rohendi (1964 - 1965)
- Bapak Maskin (1965 - 1968) - Pejabat sementara
- Bapak Aceng Hadin (1968 - 1980) - Kepala Desa Definitif
- Bapak M. Olib (1980 - 1982) - Pejabat sementara
- Bapak Eutik Lukman (1982 - 1990) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Endang Wahyudin (1990 - 1991) - Pejabat sementara
- Bapak Baya Sunarya (1991 - 1998) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Mimin Sudarmin (1998 - 1999) - Pejabat sementara
- Bapak Endang Wahyudin (1999 - 2000) - Pejabat sementara
- Bapak Ase Rusbandi (2000 - 2008) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Hendi Rohendi Partamiharja (2008 - 2014) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Wawan Gunawan (2014 – 2015) - Pejabat sementara
- Bapak Cepi Umarsidan (2015 – 2016) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Wawan Gunawan (2016–2016) - Pejabat sementara
- Bapak Ade Lukman, SP. (2016 – 2021) - Kepala Desa Definitif
- Bapak Yaya Sunaryo (2021 - Sekarang)