Hukum Taqlid Bermadzab Bagi Orang Awam Menurut Ulama

Hukum Taqlid Bermadzab Bagi Orang Awam Menurut Ulama
Hukum Taqlid Bermadzab Bagi Orang Awam Menurut Ulama - Taqlid secara bahasa adalah membuat ikatan di leher. Diambil dari kata Qollada, berarti megalungkan tali, memercayakan, mendudukkan. Berkaitan arti ikatan, alatnya dinamakan qoladah atau qiladah, yang berarti tali kekang yang kuat.



Adapun menurut istilah, taqlid berarti mengambil pemahaman dari seseorang atau beramal dengan ucapan-ucapan orang itu tanpa pengetahuan akan dalil dan hujjah.

“Setiap orang yang engkau ikut tanpa dalil dan hujjah, engkau adalah muqollidnya.” (Abu Abdillah bin Khuwaizi Mandad dalam kitab i’lamul muwaqqi’in.

Bagaimana Hukum Bertaqlid?


Tokoh-tokoh pembesar pengikut madzhab (ashabul madzhaib) berpendapat bertaqlid diperbolehkan pada salah satu imam madzhab. Sedangkan, yang secara mutlak melarang taqlid, diantaranya adalah pendapat Imam AsySyaukani dan Ibnu Khuwazi Mandad.

Ad pula yang membolehkan taqlid dengan syarat; seperti taqlidnya orang awam kepada orang alim yang terpercaya. Sementara, taqlid yang dilarang; seperti taqlidnya seseorang kepada seorang alim tanpa dalil dan hujjah. Pendapat ini yang paling banyak oleh jumhur ulama.

Taqlid Menurut 4 Imam Madzhab


Imam Abu Hanifah AnNu’man bin Tsabit:


“Apabila hadist itu shohi, itu adalah madzhabku.”

“Tidaklah dihalalkan bagi sesesorang yang berpegang kepada perkataanku selagi ia tidak tahu dari mana aku mengambilnya.”

“Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan Kitabullah (Al Qur’an) atau Khobar Rasulullah, tinggalkan perkataanku.”

Imam Malik bin Anas:

“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia, yang salah dan benar. Maka, perhatikanlah pendapatku. Seiap pendapatku yang sesuai dengan Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah (Hadits), ambillah! Dan setiap perkataanku yang menyimpang dengan Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah (Hadits), tinggalkanlah!”

“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam., kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan.”

Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i:

“Setiap pendapatku yang menyalahi hadist Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam, hadist Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam itulah yang wajib diikuti, dan janganah kalian ikuti bertaqlid kepadaku.”

“Apabila kalian dapati di dalam kitabku, pendapat-pendapat yang menyalahi sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam., peganglah sunnah beliau, dan tinggalkan pendapatku.”

“Setiap masalah yang sudah shohih haditsnya berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, menurut para ulama hadits; tetapi jika pendapatku menyalahi hadits yang shohih, aku ruju’ (kembali) dari pendapatku dan aku ikut hadits Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam yang shohih, baik ketika aku masih hidup maupun sesudah wafatku.”

“Kaum muslimin sudah sepakat, bahwa barang siapa telah terang/jelas baginya sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, tidak halal meninggalkannya karena taqlid dengan pendapat seseorang.”
“Apabila hadits itu shohih, maka itu adalah madzhabku.”

Imam Ahmad bin Hanbal:

“Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan pula taqlid kepada Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Auza’i, dan Imam Ats Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil.”

“Pendapat Aua’i, pendapat Imam Malik, dan Abu Hanifah, semuanya adalah pendapat, dan bagiku adalah sama. Sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar.”

“Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, sungguh ia telah berada di tepi kehancuran.” Khilafiyah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel