Pandangan Islam Merayakan Hari Valentine

Pandangan Islam Merayakan Hari Valentine
hukum merayakan hari valentine


Santri Mandiri - Hari Valentine (Valentine day's) biasa disebut sebagai Hari Kasih Sayang, dimana setiap tanggal 14 Februari diperingatinya hari tersebut. Menurut Wikipedia Hari Valentine adalah hari dimana seseorang mengungkapkan cintanya kepada orang yang dicintainya. Lalu bagaimana tanggapan Hari Valentine Menurut Islam? Apakah dilarang atau diperbolehkan? Bagaimana tanggapan generasi muda warga NU?


Didalam artikel ini kita akan membahas dan membedah bagaimana Valentine Day dalam ajaran islam? Hari Valentine ini biasa diributkan oleh Umat Islam diIndonesia. Biasanya ketika sudah mulai pertengahan Februari, banyak yang berbincang dan berfatwa mengenai Valentine Day.


Hari Valentine (Valentine's Day) Menurut Islam


Diberbagai negara merayakan Hari Valentine dengan cara bertukar coklat, memberikan kartu ucapan dan bahkan ada yang merayakannya dengan melakukan hubungan mesum.


Karena alasanya adalah untuk mengungkapkan Rasa Kasih Sayangnya. Di negara kita sendiri Indonesia, dilakukan dengan berbagai cara mulai dari kartu ucapakan, saling bertukar hadiah, janjian atau kencan, bahkan yang sangat ekstrim diindonesia mulai mengkuti gaya luar, yaitu dengan melakukan hubungan sex. Alasanya sih sama, karena ingin mengungkapkan rasa kasih sayangnya.


Maka jika diteliti lagi lebih dalam sebenarnya Hari Valentine ini sudah menjadi sebuah Budaya diIndonesia. Khususnya para remaja, tidak serta merta Valentine Day ini dimaknai secara teologis berasal dari kaum non-muslim. Juga tidak serta merta harus dihukumi secara fiqih bahwa itu tasyabbuh dengan budaya yang tak Islami.



Valentine Day (Hari Valentine ini harus kita lihat dengan kacamata budaya baru kemudian bisa kita hukumi).


Valentine Day Bagi Generasi Muda

  1. Generasi muda Islam–khususnya kaum muda NU–tak perlu mengutuk-ngutuk Hari Valentine. Karena itu tidak hanya soal sejarah dan budaya, namun juga industri. Semakin digembar-gemborkan, mereka akan semakin laris jualan coklat. Jika dikutuk-kutuk, bahkan dengan fatwa sekalipun, itu justru tidak memberikan solusi yang cerdas, alih-alih justru upaya yang sia-sia. Intinya, Hari Valentine hanyalah label dan bungkus. Isinya? Itulah para tugas generasi muda Islam untuk mengisi dan merayakannya dengan hal yang tak bertentangan dengan agama. Jika hanya memberi kado dan hadiah lain, saya kira itu tak masalah.
  2. Generasi muda Islam–khususnya kader muda NU–mesti bisa membikin budaya tandingan Hari Valentine, yang isinya positif, konstruktif dan inspiratif. Misalnya, membikin Valentine Days dengan kongko budaya, bedah buku, kajian cinta dalam Islam, bedah film, atau hal yang kekinian dan hits lain. Dengan begitu, bungkus yang memang dari budaya Barat itu kita filter menjadi budaya yang secara substansi tak bertentangan dengan ajaran Islam.

Mengapa tidak? Sesepuh-sesepuh kita Walisongo–penyebar Islam di Tanah Jawa–telah mencontohkan, bagaimana tradisi dan budaya non-Islam berhasil diislamisasi secara substansi.


Wayang yang dulu hanya dikenal dengan wayang beber, diubah secara revolusioner bentuknya menjadi wayang kulit, bahkan isinya dengan cerita yang mendekatkan kepada ajaran tauhid.


Misalnya, para dewa-dewa yang ada di wayang itu, silsilah-silsilahnya berhenti sampai Nabi Adam AS, juga banyak memuat ajaran kebaikan.

Kesimpulan

Intinya, Islam–khususnya NU–tidak serta merta mengutuk bungkus, namun yang lebih penting dari itu adalah isi dan substansi. Pun demikian Hari Valentine. Jika kemudian santri dan generasi Islam zaman now mampu mengubah isinya menjadi hal yang positif, inspiratif, konstruktif, bukankah itu lebih hebat dampaknya dari sekadar fatwa? Dan, sanggupkah generasi yang mengaku penerus Walisongo melakukannya?
jendela dakwah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel