GELAR DOKTOR HONORIS CAUSA KH. AFIFUDDIN MUHAJIR: SEORANG FAKIH DARI ELABORASI PENDIDIKAN PESANTREN

GELAR DOKTOR HONORIS CAUSA KH. AFIFUDDIN MUHAJIR: SEORANG FAKIH DARI ELABORASI PENDIDIKAN PESANTREN

SANTRI MANDIRI - Guk Khofi, inilah sapaan akrab yang disematkan kepada paman sejak saya masih kecil. Beliau dikenal alim dan ahli fikih bahkan dianggap memili ilmu ladunni (alim ilmu agama tanpa belajar). 



Namun kemudian saya mengenalnya dengan nama Afifuddin Muhajir. Putra kesayangan dari Kyai Muhajir dan Nyai Zuhriyah adalah keturunan Bujuk Ahmad tokoh pejuang di desa Jerengoan, kebupaten Sampang Madura. 

Menarik sebetulnya apabila mengulas beberapa nama tokoh yang berasal dari pulau Madura tentang keunikan nama asli, julukan dan ijazah sekolah. 

Salah satunya KH. Afifuddin Muhajir yang dipanggil Guk Khofi atau Ustadz Khofi karena diijazah tertulis Mohammad Khafifuddin, disingkat M. Khafifuddin.

Guk Khofi atau juga dikalangan Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo dikenal Ustadz Khofi telah mengenyam dan hidup di pesantren sejak usia 8 tahun tepatnya beliau di Pesantren Situbondo karena ibunya Nyai Zuhriyah juga mengajar para santri di situ, pada usia genap 20 tahun Guk Khofi sudah aktif mengajar pengajian, kajian ilmiah serta khataman kitab kuning. 

Kini beliau tercatat aktif sebagai dosen tetap Ma’Had Aly Situbondo dengan beberapa  karya diantaranya:

  1. Fungsionalisasi Uṣūl Fiqh dalam Bahtsul Masail NU, 
  2. Judul buku: Kritik Nalar Fikih NU, Penerbit: Lakpesdam. Fikih Anti Korupsi, 
  3. Judul Buku: Korupsi kaum Beragama, Penerbit: P3M. Fikih Menggugat Pemilihan Langsung, Penerbit: Pena Salsabila. 
  4. Kitab Fatḥul Mujīb Al-Qarīb Syaraḥ at-Taqrīb li Abī Syuja’, Penerbit: Maktabah As’adiyah. 
  5. Al-Luqmah As-Sā’igah, Penerbit: Maktabah As’adiyah. 
  6. Metodologi Kajian Fikih, Penerbit: Ibrahimy Press. 
  7. Maslaḥah sebagai Cita Pembentukan Hukum Islam, Penerbit: Ibrahimy Press 
beserta beberapa undangan menjadi narasumber diskusi ilmiah berskala regional, nasional maupun internasional.

Dikenal Sebagai Mushahih

Banyak yang bertanya nasab keilmuan beliau mengingat Guk Khofi tidak pernah belajar di luar negeri , beliau hanya berkutat di Pesantren Salafiyah Syafi’Iyah Situbondo mulai kecil sampai sekarang. 

Beliau mendapatkan ilmu laduni (ilmu yang diperoleh tanpa belajar namun langsung mendapatkanya dari Allah SWT), disamping pihak belajar kajian dasar Ushul Fikih, beliau pernah belajar kitab Lubbul Ushul pada KH. Qasdussabil Syukur. 

Selebihnya beliau belajar secara otodidak dengan melakukan kajian pada beberap kitab ushul fikih Ar-Risalah karya Imam Syafi'i, al-Mustashfa min `Ilmil Ushul karya al-Ghazali, al-Muwafaqat fi ushulis Syari’ah karya as-Syathibi, al-Ihkam fi Ushulil Ahkam karya al-Amidi. 

Favorit kajian beliau adalah kitab Jamul Jawami’ karya Tajuddin As Subki, disamping pihak karya fenomenal beliau tentang kajian fikih dicurahkan dengan membuat kitab Fathul Mujibil Qorib yang merupakan syarah dari kitab Fathul Qoribul Mujib karya Syaikh Abu Syuja’ Al Isfahani. 

Oleh karenanya tidak heran dalam forum Bahtsul Masail tingkat PBNU beliau dikenal sebagai mushahih .

Guk Khofi juga terus konsisten aktif pada Jamiyyah terbesar di Indonesia Nadlatul Ulama’ (NU), yang terkini beliau menjabat sebagai Rois Syuriah PBNU. 

Selain juga telah menjabat pada posisi yang sama periode lalu, Guk Khofi juga telah menginisiasi kekhususan aswaja ala nahdliyin bersama ulama’ sepuh NU lainya pada Muktamar 2015 lalu di Jombang yang mana konsep tersebut lebih menekankan pada perihal pentingnya memahami komparasi antara islam sebagai agama samawi terakhir yang mempunyai kekhususan (khoshoish) dalam wacana untuk memahami islam secara tekstual dan kontekstual, pun dengan ranah khoshoish an nahdliyah yang memahami permasalahan dan realitas dengan wasathiyah, karena baik dalam Alquran dan Al Hadits telah menegaskan hal tersebut.

Wasathiyah dalam paradigma moderat setidaknya cenderung pada tiga hal yang diantaranya: 

pertama; hak antara dua kebatilan dan adil antar dua kezhaliman وعدل) بين ظالمين حق بین البا طلین (. 

Kedua; pemaduan diantara dua hal yang berbeda antara jasmani dan rohani, aql dan naql serta dunia dan akhirat. 

Ketiga; realitas (waqi’iyyah). 

Di sini NU selaku jamiyyah yang mempunyai manhaj ahlussunnah waljama’ah  dengan watak wasathiyyah tercermin dalam aspek aqidah, fikih/syariah, akhlaq/tasawwuf terjadi dalam beberapa hal: melandasakan ajaran islam kepada Alquran dan Al Hadits sebagai sumber hukum primer dan sekunder.

Ijtihad sebagai otoritas dalam menjawab persoalan dalam islam apabila memenuhi kriteria berijtihad, apabila tidak memenuhinya maka harus bermadzhab dengan ashabul madzahib yang empat. 

NU juga membuka ruang bermahdzab secara manhaji pada permasalahan yang tidak selesai bermadzhab secara qouli. 

Poin watak wasathiyyah dalam diri NU tercermin pada delapan poin lainya yang berorientasi pada dakwah, realitas bernegara dan berdaulat, menolak prinsip takfiri, tidak adanya orang ma’sum (terhindar dari dosa) setelah nabi Muhammad SAW, masalah khilafiyyah bainal muslimin, ukhuwah islamiyyah dan keseimbangan jasmani dan rohani.

Kepercayaan tersebut bukan tanpa alasan mengingat kealiman beliau dalam bidang ushul dan fikih tidak diragukan lagi, bukti dari hal tersebut telah terefleksikan pada maha karya beliau Kitab Fatḥul Mujīb Al-Qarīb Syaraḥ at-Taqrīb li Abī Syuja. 

Maklum, bahwa era sekarang terlebih pada bidang ilmu tersebut sangat jarang ulama yang menguasai metode bahkan pola pengambilan dan produksi hukum secara baik sekaliber Guk Khofi.

Hal itu sudah bukan menjadi hal yang baru terutama santri Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’Iyyah Situbondo. 

Sebagai jajaran kepengurusan di pesantren, beliau oleh Kyai As’ad jarang sekali dilibatkan dalam perkara teknis namun lebih fokus pada pembelajaran dan pengajaran, seolah kyai As’ad menyiapkan kader ulama’ fikih masa depan yang akan dapat menjadi fakih (ahli fikih) untuk menuntaskan berbagai macam problematika umat islam. 

Selain dari pada itu beliau aktif mengaji (bandongan) di depan ndalem kesepuhan kyai.

Originalitas pemikiran beliau sudah saya kenal sejak setelah saya berada di Jakarta aktif pada forum Bahtsul Masail PBNU sebagai sekretaris dan kemudian wakil ketua. 

Saya sering berinteraksi dengan beliau yang aktif di beberapa kegiatan LAKPESDAM PBNU. Beliau adalah murni produk pesantren dari Situbondo yang kemudian menurut menuturan Kiai Tolhah Hasan beliau meneruskan S.2 di UNISMA, Malang. 

Secara pendidikan hanya sedikit terelaborasi ke perguruan tinggi. Yang membuat saya kagumi dari beliau adalah originalitas pemikirannya selalu condong kepada nalar ushul fikih.

Ushul fikih adalah teori hukum yang menjadi alat produksi mencetak hukum. 

Hal tersebut yang kadang disalah pahami sehingga dianggap libralb karena kadang-kadang menerobos pola pikir bermahdzab yang rentan menabrak hal yang menjadi main stream warga nahdliyin.

Namun terlepas dari semua itu, beliau adalah seorang alim fikih yang bermahdzab namun tidak terikat dengan mahdzab tertentu sebagaimana yang ada pada NU dikenal dengan mahdzahibul arba’ah (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) seperti yang termaktub di qonun asasinya NU. 

Beliau melihat realita modern selalu dari perspektif ilmu ushul fiqh. Acapkali alur logikanya Guk Khofi mengagetkan sekaligus mencerahkan. Garis besarnya adalah pemikiran beliau itu logic namun tetap mengedepankan asasi dari perspektif ushul fiqh dalam melihat problematika dan realitas (waqi’iyah).

Refleksi pemikiran beliau juga tergambar pada beberapa persoalan terkait degan pemilihan Gubernur Jawa Timur waktu lalu yang mana dalam asasinya beliau beserta 400 ulama’ NU Jawa Timur membuat kesepakatan, lebih tepatya deklarasi penentuan pilihan Ulama NU Jawa Timur atas paslon Khofifah-Emil dengan paradigma hadits shohih riwayat imam Bukhori. 

Bahkan dengan tegasnya beliau melakukan penegasan atas keputusan para ulama’ NU Jawa Timur waktu itu dengan adanya penyangkalan dalil dari ulama’ Jawa Timur lainya yang mengatakan bahwa hadits yang dipakai sebagai dalil tersebut dinyatakan dho’if. 

Penegasan itu terus dibarengi dengan rentetan referensi yang merujuk pada beberapa dalil diantaranya Sulaiman bin Ahmad Bin Ayyub Abu al-Qasim ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, cetakan ke-2, halaman 114 dan Nuruddin Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid wal-Manba’ al-Fawaid, juz 5 halaman 255.

Selanjutnya, penegasan beliau atas dalil fardlu ‘ain memilih Khofifah-Emil dengan ciri khas pemikiran pada realitas yang ada yaitu lebih pantasnya paslon tersebut daripada paslon yang lain dengan melihat integritas dan kapabilitas track record yang mumpuni. 

Khofifah-Emil lebih paham Alqur’an dan Alhadits serta memahami islam secara komprehensif. Islam adalah agama yang sangat kamil sehingga apapun problematika yang menyangkut ibadah dan muamalah semuanya pasti ada ketentuan hukumnya. 

Mencoblos pilihan dari bilik kotak suara merupakan syahadah (persaksian) kita atas kualitas dan tanggung jawab pemimpin yang akan dipilihnya.

Belum lagi tentang persoalan kewajiban bercadar. Hal ihwal tersebut muncul setelah statement dari Menteri Agama Fachrul Razi tentang bagaimana cadar tidak ada kaitan dengan ketakwaan serta aturan pelarangan cadar di tempat tertentu. 

Dalam pendapatnya, Guk Khofi menyatakan bahwa dari dulu ulama’ mufassir, fakih, muhadits terpecah belah menjadi tiga pendapat tentang masalah cadar. 

Ada yang menyatakan aurat perempuan itu semua anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan juga ada yang berpendapat sebaliknya bahwa wajah dan telapak tangan juga termasuk aurat beserta seluruh badan serta yang terakhir menganggap adanya ihtiyath (kehati-hatian) dalam persoalan tersebut sehingga menganjurkan memakai cadar walaupun tidak mewajibkanya dengan dasar logika ushul fiq “al-khuruj minal khilaf mustahabbun” (keluar dari masalah khilafiyah ulama’ adalah kesunahan).

Sedangkan persoalan pemerintah yang melarang pemakaian cadar di tempat tertentu beliau mendasarkan logikanya pada kaidah hukmul hakim ilzamun wayarfa’u khilaf (keputusan Negara adalah mengikat dan dapat menghilangkan polemik khilafiyah). 

Beliau menyatakan dengan tegas boleh saja pemerintah membuat aturan tersebut namun harus ada pengkajian dan penelitian secara mendalam, apakah pelarangan tersebut ada ketentuan hukum syariatnya? atau apakah ketentuan tersebut hanya ingin menghilangkan identitas saja? atau yang lainya. 

Karena pada dasarnya identitas itu sebenarnya penting mengingat fikih sangat kritis dalam menyikapi persoalan identitas dalam menentukan kajian hukum atas persoalan tertentu.

Sangat sesuai gelar doctor Honoris Causa diberikan kepada KH. Afifuddin Muhajir dengan kapabiltas kelimuan beliau yang notabene mempunyai kekhasan dalam berpikir berdasarkan nalar ilmu ushul fiqh dengan melihat sepak terjangnya diberbagai kajian kelimuan baik skala regional, nasional dan internasional. 

Begitu juga track record beliau yang memulai menapaki kajian ilmu ushul dan fikih muncul dari dunia pesantren bahkan sampai sekarang pun masih berada di dalam atmosfir pesantren. 

Bukan hanya itu saja, kiprah yang nyata dalam merefleksikan khazanah dan logika berpikir beliau telah tersampaikan dengan baik kepada umat. 

Lantas dengan dedikasinya tersebut telah tercipta masterpiece dengan kitab Fathul Mujibil Qorib yang merupakan syarah dari kitab Fathul Qoribul Mujib karya Syaikh Abu Syuja’ Al Isfahani, kitab simpel tentang fikih namun lengkap dalam menyikapi beberapa asas dasar fannul masailil fiqhiyyah. 

Juga dengan beberapa karya lainya yang mencerminkan pemikiran orisinil beliau secara gamblang.

Elaborasi pemikiran Guk Khofi adalah pure dari pesantren. Sebab beliau sedikit sekali mendapat atmosfer kampus. Meskipun seperti itu, Keilmuan beliau tidak kalah dengan Doktor pada jebolan perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri.

Oleh karenanya, Hikmah mencari ilmu sebenarnya adalah tentang bagaimana kita memaksimalkan segala potensi yang ada dengan tekun dan benar. 

Sebab ketekunan akan mengantarkan padan keberhasilan, demikian juga kebenaran beramal dan istiqmah akan menyebarkan kemanfaatn serta mendapat keberkahan.

Ternyata pemdidikan Pesantren mampu mencetak generasi unggul untuk menjadi generasi penerus estafet kepemimpinan agama dan negara. 

Terbukti dari beberapa lulusan pesantren yang menjadi pahlawan nasional, pemimpin agama dan bangsa, diantaranya ialah Guk Khofi. 

Beliau produk Pendidikan dan budaya pesantren dalam mencari serta mengembangkan segala potensi keilmuannya. 

Beliau mampu mendalami ilmu yang spesifik yang kadar bobotnya diakui masyakata serta  dirasakan manfaat dan berkahnya oleh umat.

Salam takdzim dari saya, Cholil Nafis. Selamat atas gelar yang diraih oleh beliau. Semoga dapat memicu semangat kepada santri-santri yang lain untuk belajar hingga sampai pada puncak keilmuan, baik diakui oleh instansi akademik tertentu maupun tidak, namun yang terpenting dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Depok. 21 Januari 2021

Oleh 

M.CHOLIL NAFIS,Lc., Ph.D..

Kalam Ulama Tokoh Ulama Teladan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel